Selamat datang di IpediaVista Blog Media Pembelajaran Informatika

Jumat, 11 Desember 2009

sekarang saya bosan dengan facebook





Belakangan ini saya tidak semangat untuk update status di Facebook. Jangankan status sendiri, melihat status orang lain saja gerah rasanya. Login hanya untuk main Farmville, mengucapkan birthday wishes kalo ada yang ulang tahun, atau sekadar iseng menjawab kuis. Sisanya, beuuuhhh….saya lirik pun tidak. Sudah ada beberapa friend request saya acuhkan atau tanpa lihat lagi accept aja deh ga pake mikir atau inget-inget dulu. Beberapa page suggestion saya biarin untuk tetap jadi request. Enggan untuk berbuat sesuatu.
Ada apakah gerangan?

Tiada hari tanpa Facebook. Alasan saya marah-marah dengan koneksi Blackberry yang byar-pet atau koneksi internet kabel di rumah putus, ya jelas karena Facebook. Rasanya hilang sesuatu. Rasanya ga bisa hidup tanpa Facebook. Rasanya koq ga lengkap gitu lhoooo, tanpa Facebook. Bukan itu juga sih, bukan apa-apa gua juga ngerasa sakit hati karena facebook. emmmmm..... emang sih gua yang salah, tapi gak tau juga deh. Bingung salah gua apaan... udah banyak tugas kuliah, badan gak enak, banyak masalah ama temen (malon) hemmmm.... di tambah satu lagi, kalo yang ini sih gua udah gak bisa apa-apa.

Tapi sekarang saya benar-benar bosan. Bosan dengan kehidupan Facebook yang gitu-gitu aja. Ga jauh-jauh dari update status atau komen di status orang lain. Atau sekadar melihat foto hasil upload teman-teman. Isi kuis. Main Farmville. Ya gitu deh. Abis mau apalagi dengan Facebook? Cuma sebatas kalimat, kata-kata, dan gambar. Atau itu yang membuat saya bosan, karena sebatas text, yang kadang dengan mengherankan bisa membuat saya ngomel dan marah-marah sendiri?

Hmmmm…. Mungkin saya orangnya kelewat cerewet kalo menyangkut tata cara. Saya paling tidak suka baca pesan dalam capitalized letters. Kesannya koq seperti emotional gitu. Saya juga benci baca pesan ga pake titik koma atau tanda baca lainnya. It gives me a headache, harus menerjemahkan apa maksud pesan yang sebenarnya. Apalagi tulisan yang berantakan, huruf besar kecil angka jadi satu. Lagi trend, booo… gaul! Tapi saya tidak suka. Membuat saya menilai sepihak orang yang mengirimkannya, menilai karakter orang dari sepenggal kata. tapi mending sih kalo anak-anak indo coba kalo malon, huuuufftttttt...... pusing gua bacanya. Abis gimana dwoooong. Bagi saya tutur kata kan refleksi isi otak. Atau melihat request dari seorang tak dikenal. Tanpa salam perkenalan. Atau salam perkenalan yang kurang ajar. Foto dog sebagai foto profile. Foto dalam pose yang membuat saya mempertanyakan motifnya. Hadooooh! Ignore. Ignore. Ignore. Tuh kan, saya rese.

Tapi sebentar…. saya tertegun jadinya. Semudah itukah saya menilai orang?

Facebook membuat jarak dan batas menjadi seakan hilang. Ga usah bahas jarak ya. Kita bisa berhubungan dengan orang lain tanpa meninggalkan tempat dimana kita berada. Batas semakin mengecil. Iya dong, Facebook telah menjadi alasan untuk reuni, dengan teman-teman lama kek, dengan bekas pacar kek, atau apa kek. Kita juga jadi sanggup untuk berinteraksi lebih. Selingkuh misalnya, atau cari perhatian, atau apa lah. You figure it out. Atau….batas yang lain nih? Misalnya batas kesabaran dan batas kesopanan? Hohohoho….it’s a really different things.

Mungkin alasan inilah yang membuat saya menjadi bosan dan enegh. Sudah beberapa kali saya dibuat tersinggung dengan hanya membaca komentar orang di lapak status saya. Ada yang berkomentar sok lucu ketika saya bermaksud serius. Ada yang berkomentar tak penting ketika saya sedang susah hati. Ada yang seenaknya bilang kalau saya over-sensitive (padahal saya dah bilang bahwa saya orangnya hot-temper, bukannya malah hati-hati). Ada yang tanpa malu-malu preaching (woooo, i hate them the most!). Ada yang rajin mengirimkan request page suggestion tanpa henti. Ada yang tak bosan mengirimkan spam message di inbox. Makkkk…. these kind of things yang merubah mood saya jadi jelek. Tanpa disadari, Facebook membuat orang lupa bahwa ada batas yang perlu dijaga. Jaga perasaan orang lain. Mungkin kita tidak ingat bahwa orang lain mungkin sedang memiliki suasana hati yang berbeda dengan kita. Kita tidak bisa langsung melihat raut muka toh. Senang, sedih, marah, kecewa….semuanya ga real-time ketangkep untuk dipersepsikan, kan bisa saja misleading, wong cuma dari baca tulisan. Dikira marah taunya cuma bercanda. Cuma bercanda … ehhhh, taunya marah. Ya gitu deh. Facebook membuat kita lebih memukul rata karakter orang. Padahal tiap orang beda. Ada yang suka bercanda, ada juga yang ga. Ada yang gampang marah, ada juga yang ga bisa marah. Ga bisa disamakan satu dengan lainnya. Tidak sama dengan diri kita sendiri. Mungkin sudah bawaan kita juga untuk menggeneralisasikan sesuatu. Tapi apakah bisa kita menggeneralisasikan sesuatu hanya karena sesuatu yang kita lihat secara virtual? Parameternya apa? Diri kita sendiri? Lah, sukur kalo bener. Kalo salah? Ah…. pusing juga….

Kemarin saya menyempatkan diri untuk bertemu seorang kawan lama. Herannya, meskipun kami teregister di Facebook, kami tidak exist di friend list masing-masing. Buat apa? Kami sudah exist dalam persahabatan nyata kami, dimana saya bisa meledeknya langsung dan tertawa melihat bibirnya manyun secara live di depan saya. Atau gantian dia yang mengolok-olok saya. Atau sekedar berbagi cerita dan tertawa bersama. Tanpa Facebook! Ini yang luput kali ya? Persahabatan yang nyata, rutin, dan tidak sekadar exist dalam friend list. Tapi…upsss! Mungkin banyak yang merasa exist dengan Facebook juga ya? Merasa dirinya punya banyak teman karena friend list penuh sesak. Merasa disukai banyak orang karena banyak yang minta add. Maaf, saya ga maksud ngeledek. Tapi untuk sejenak, coba lihat deh friend list yang panjang itu. Berapa persen sih yang kenal? Atau ubah yuk pertanyaannya. Berapa persen yang mengenal diri kita sebenarnya? Huaaahhh!!!! (saya malas menghitung, ngeri sendiri :p — yuk bikin kuis, “How well do you know….”— tapi siap-siap takjub dengan hasilnya juga ya!). Tapi saya sadar koq, tiap orang punya motif sendiri. Barangkali out of ordinary, cukup dengan memiliki teman di dunia virtual. Mungkin cukup dengan berinteraksi secara virtual. Yah, sekali lagi saya bilang… beda-beda tiap orang. Tapi untuk saya sih jelas ga cukup.

It’s been a roller coaster journey with Facebook. I think I have it enough now. Lama-lama mual dan pusing juga. Saya capek. Capek menerka, capek salah terka, dan capek diterka salah. Untuk sekarang, saya lebih tenang dengan menjauhkan diri dari Facebook. Jadi jarang ngomel. Jadi jarang marah-marah sendiri. Hanya main game Farmville. Kalo niat, ngintip status teman-teman. Atau komen sekedarnya. Tidak lagi mengelus dada melihat spam di inbox. Tutup mata kalo ada yang komen kurang ajar di status. Tidak memaksakan diri untuk update status. Mengurangi interaksi tak berguna. Yeehawww! Hidup bebas tanpa harus attached dengan Facebook! (Dan mungkin suatu hari saya akan tega untuk bilang… bye bye…. so long, Facebook. Hanya sampai disini kisahmu—senasib dengan Friendster di duniaku.)



Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer

0 komentar:

 
Template Copy by Blogger Templates | BERITA_wongANteng |MASTER SEO |FREE BLOG TEMPLATES